Senin, 27 Juni 2011

Krisis Pangan Lebih Banyak Disebabkan Aksi Spekulan

Jakarta  (ANTARA News) - Krisis pangan global di berbagai belahan dunia lebih banyak disebabkan oleh aksi spekulan sejumlah pihak seperti korporasi multinasional.

Mereka melakukan penimbunan bahan pangan yang menyebabkan krisis dibanding disebabkan kekurangan produksi, kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesi (SPI) Henry Saragih, di Jakarta, Kamis.

"Krisis pangan bukan karena masalah produksi, tetapi karena menjadi bahan dari spekulasi pangan," katanya.

Menurut dia, aksi spekulasi pangan dapat berupa di tingkat terkecil adalah para ijon dan tengkulak, sedangkan di tingkat besar dapat dilakukan oleh pihak perusahaan multinasional.

Ia mencontohkan, kasus stok beras yang hingga kini sukar dimenangkan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) karena "dikalahkan" para penimbun beras lokal mulai dari tingkat provinsi hingga kecamatan.

"Bila Bulog berfungsi dengan baik, maka sektor pangan di Indonesia tidak akan bisa dimasuki spekulan," katanya.

Senada dengan Henry, Ketua Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, mengatakan, dunia internasional sebenarnya tidak memiliki masalah dalam produksi pangan.

"Produksi pangan ada terus, stok pangan internasional masih cukup besar, tetapi mengapa harga pangan selalu meningkat dan fluktuatif," kata Dani.

Untuk itu, KAU menginginkan agar pemerintah dapat segera melakukan pengontrolan yang ketat terhadap beragam aksi spekulan.

Hal tersebut, masih menurut dia, juga akan bermanfaat untuk mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan tingkat kesejahteraan.

"Setiap penyesuaian harga pangan akan berdampak kepada jumlah orang miskin di suatu negara," katanya.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Forum Ekonomi Dunia-Asia Timur (WEF-EA) di Jakarta, 12 Juni 2011, ingin agar Asia bisa mengatasi krisis pangan, energi, dan air, sehingga bisa menjadi benua yang menjadi pusat dunia baru.

"Asia harus mengantisipasi dan memperhatikan tekanan yang semakin tinggi terkait ketidakamanan pangan, energi, dan air," kata Yudhoyono saat menyampaikan pidatonya di ajang WEF-EA.

Presiden menegaskan, isu tentang pangan, energi, dan air seharusnya tidak berujung pada konflik.

Dia meminta semua pihak bekerja sama untuk mengutamakan jalan damai di daerah rawan konflik, seperti Sungai Mekong dan Laut China Selatan.

Sebagai benua dengan populasi yang sangat besar, lanjutnya, maka Asia harus bisa menggunakan semua sumber daya untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan perdamaian.

(M040)

Editor: Ella Syafputri
Sumber : http://www.antaranews.com

Presiden Ingin Asia Antisipasi Krisis Pangan

Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin Asia bisa mengatasi krisis pangan, energi, dan air sehingga bisa menjadi benua yang menjadi pusat dunia baru.

"Asia harus mengantisipasi dan memperhatikan tekanan yang semakin tinggi terkait ketidakamanan pangan, energi, dan air," kata Presiden Yudhoyono saat berpidato dalam Forum Ekonomi Dunia-Asia Timur (World Economic Forum on East Asia/WEF-EA) di Jakarta, Minggu.

Presiden menyatakan, saat ini ada sekitar 7 miliar manusia di bumi, dan 60 persen diantaranya berada di Asia.

Menurut Kepala Negara, peningkatan kemampuan ekonomi manusia akan membuat mereka bersaing untuk mendapatkan dan menguasai sumber daya alam.

"Ini pola yang pada abad-abad silam berujung pada perang, penjajahan, eksploitasi, dan penderitaan," katanya.

Presiden Yudhoyono menegaskan, isu tentang pangan, energi, dan air seharusnya tidak berujung pada konflik. Kepala Negara meminta semua pihak bekerjasama untuk mengutamakan jalan damai di daerah rawan konflik, seperti Sungai Mekong dan Laut China Selatan.

Sebagai benua dengan populasi yang sangat besar, kata Presiden Yudhoyono, Asia harus bisa menggunakan semua sumber daya untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan perdamaian.

Presiden Yudhoyono juga berpendapat, Asia harus selalu menjadi bagian dari solusi, bukan konflik.

Asia juga harus menjadi penyeimbang dari segala bentuk ketimpangan yang terjadi di dunia.

Kepala Negara juga menyinggung tentang perkembangan teknologi di Asia. Untuk menjadi pusat dunia baru, katanya, Asia harus berusaha untuk menjadi yang terdepan dalam inovasi teknologi.

"Teknologi adalah kunci penentu dalam perubahan di abad 21," kata Presiden.

Kemudian, Presiden menambahkan, Asia harus menjadikan kemajemukan sebagai modal. Penduduk Asia harus memelihara kemajemukan sejarah dan budaya demi kehidupan bersama yang damai.
(T.F008)

Editor: Priyambodo RH
Sumber: www.antaranews.com
Minggu, 12 Juni 2011 16:59 WIB