Sabtu, 11 Desember 2010

Sepuluh Langkah untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan

I. MENGUPAYAKAN PERAN BULOG
BULOG masih merupakan salah satu institusi terpenting dalam menjamin
ketahanan pangan di Indonesia. Perubahan status hukum BULOG pada tahun
2003 dari Badan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah
memperluas lingkup BULOG untuk melakukan aktivitas komersil sebagai
bagian dari peran pentingnya dalam pelayanan jasa publik. Tugas BULOG
termasuk menjaga stok ketahanan pangan nasional, pendukung publik dalam
menjaga harga-harga komoditas pertanian, menyediakan pangan dalam
keadaan darurat, dan melaksanakan program subsidi beras RASKIN bagi
masyarakat miskin. Pengawasan pemerintah pusat terhadap sejumlah
pelayanan BULOG, yang selama ini dilakukan oleh BULOG sendiri, telah
dialihkan ke dalam tugas Kementrian Keuangan dan Kementrian BUMN,
dimana keduanya memiliki keterbatasan kapasitas dan pengalaman dalam
hal manajemen dan kebijakan ketahanan pangan. Namun demikian BULOG
masih tetap melakukan fungsi tersebut selama lebih dari setahun terakhir,
meski tanpa adanya persetujuan mengenai rencana usaha maupun dalam
penyusunan anggaran, walaupun sebenarnya kedua hal tersebut dibutuhkan
sebagai payung hukum.
Pemerintahan yang baru harus memperkuat pengawasan terhadap peran
BULOG melalui Kementrian Keuangan dan Kementrian BUMN dengan cara:
1. Membangun prosedur pengesahan laporan keuangan, rencana
usaha dan anggaran tahunan BULOG
2. Mulai membangun mekanisme penyediaan dan kontrak alternatif dengan pihak penyelenggara lain, untuk mendapatkan
perbandingan atas pelayanan publik yang selama ini dilakukan
BULOG, termasuk biaya yang timbul dalam pelayanan tersebut.
3. Membentuk komisi independen yang bertugas memantau stok
aman kebutuhan beras nasional.
4. Menghitung secara akurat biaya penyediaan program RASKIN dan
mengkaji ulang kontrak antara pemerintah dengan BULOG.

II. MENGKAJI KEMUNGKINAN DIPISAHKANNYA BADAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
DARI KEMENTRIAN PERTANIAN
Kebijakan ketahanan pangan nasional membutuhkan keseimbangan yang tepat
antara keinginan konsumen dan produsen. Dewan Ketahanan Pangan Nasional,
yang diketuai oleh Presiden, didukung penuh oleh Badan Ketahanan Pangan
Nasional dibawah Menteri Pertanian. Meski sejauh ini dewan tersebut
menunjukkan kinerja yang cukup baik, susunan struktur seperti ini dapat
menghadapi sejumlah kesulitan dimana Kementrian Pertanian pada dasarnya
akan cenderung lebih menanggapi kemauan petani ketimbang keinginan
konsumen pangan. MPR telah mempertimbangkan kemungkinan tersebut dan,
melalui Keputusan MPR No 8/2003, menginstruksikan presiden untuk mengkaji
kemungkinan BKP dijadikan sebagai lembaga yang terpisah dari Kementrian
Pertanian. Permintaan MPR tersebut membutuhkan tanggapan yang yang cukup
serius. Jika pemindahan itu memang harus dilakukan, hal tersebut harus
direncanakan secara matang, mengingat telah terjadi sejumlah perubahan
susunan institusi ketahanan pangan dan koordinasi antar lembaga di tahuntahun
belakangan ini. Yang terpenting dalam hal ini ialah perubahan tersebut
tidak menghilangkan kapasitas institusi yang telah ada sebagai akibat
perencanaan yang tidak matang.

III. MENINGKATKAN EFEKTIVITAS DEWAN KETAHANAN PANGAN
DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Peraturan Pemerintah tahun 2000 mengenai ketahanan pangan memberikan
suatu kerangka dimana pemerintah daerah dapat berkontribusi dalam
mencapai tujuan ketahanan pangan nasional. PP ini mengatur bahwa
pemerintah sub-nasional turut bertanggung jawab terhadap ketahanan
pangan dalam wilayah mereka masing-masing. Beberapa kabupaten/kota telah
membentuk Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. PP tersebut juga
mendefinisikan kebutuhan pangan pokok secara luas, hal ini dimaksudkan
untuk memberikan keleluasaan bagi perbedaan pola makanan yang tercermin
dalam ukuran-ukuran ketahanan pangan pada tingkat daerah. Dengan
demikian beras tidak harus diberi penekanan khusus di daerah dimana
terdapat makanan pokok lainnya. Ini merupakan gambaran yang baik dari
sistem yang sedang terbentuk, namun demikian kurangnya kapasitas
kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota membuat mereka
hanya cenderung sekedar mengikuti agenda-agenda tertentu dan terlibat
dalam pengadaan serta penyimpanan kebutuhan pokok yang tidak efektif.
Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah pusat untuk memberikan
petunjuk dan pengembangan kapasitas kemampuan agar Dewan Ketahanan
Pangan Kabupaten/Kota berfungsi secara efektif.

IV. MENGHILANGKAN LARANGAN IMPOR BERAS
Pada Januari 2004 Kementrian Industri dan Perdagangan mengumumkan
larangan atas impor beras mulai dari dua bulan sebelum hingga satu bulan sesudah periode panen. Larangan ini secara berulang diperluas dan masih
terus digunakan. Tujuan utama dari larangan tersebut dimaksudkan untuk
mendukung para petani dan meningkatkan ketahanan pangan. Namun
demikian kenyataan yang terjadi justru sebaliknya-harga eceran terus naik
namun harga di tingkat petani tidak berubah, yang menunjukkan bahwa
petani tidak memperoleh manfaat sesuai dengan harapan. Artinya, ketahanan
pangan bagi kebanyakan orang menjadi lebih buruk. Sekitar 80 % penduduk
mengkonsumsi beras lebih banyak dari yang diproduksinya, dan terbebani
harga beras yang tinggi. Sementara di lain pihak, 20 % penduduk lainnya
yang memperoleh keuntungan dari kebijakan ini, ternyata bukanlah
masyarakat miskin. Studi terakhir menunjukkan bahwa larangan impor secara
permanen dapat meningkatkan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan
sebanyak 1,5 juta orang.
Pemerintahan yang baru sebaiknya menghapus larangan impor dan
membiarkan impor beras oleh para importir seperti sebelumnya.
Memproteksi beras justru memperburuk ketahanan pangan. Namun jika
proteksi dianggap penting secara politis hal itu dapat ditempuh melalui
bentuk yang lebih transparan dan efisien seperti dengan menerapkan bea
masuk yang rendah ketimbang memberlakukan larangan impor.

V. MENGUBAH FOKUS DEPARTEMEN PERTANIAN DARI MENDORONG PENINGKATAN
PRODUKSI KE PERLUASAN TEKNOLOGI DAN PENCIPTAAN DIVERSIFIKASI
Kebijakan harga beras yang tinggi juga memiliki keterbatasan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan: Bagi produsen beras yang
produksinya lebih tinggi dari konsumsi, dukungan melalui sejumlah
kebijakan proteksi akan memberikan peningkatan pendapatan dalam waktu
seketika; namun tidak mendorong pertumbuhan pendapatan yang
berkelanjutan, ketika produktivitas pertanian beras domestik telah mencapai
titik yang cukup tinggi. Akan lebih baik bagi Departemen Pertanian untuk
memusatkan perhatian pada peningkatan produktivitas di sejumlah produkproduk
pertanian secara lebih luas. Sebagaimana kita ketahui, konsumsi
pangan disetiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah bergerak menuju
pangan dengan kualitas yang lebih baik. Dengan pertumbuhan seperti
sekarang ini, konsumsi rumah tangga pada buah-buahan dan sayur-sayuran
kecenderungannya akan melebihi nilai konsumsi beras dalam dekade ini.
Kebijakan pertanian saat ini terlalu berkonsentrasi pada pemenuhan beras,
dimana nilainya cenderung rendah dan termasuk komoditas yang murah di
pasaran internasional. Hal ini telah memaksa petani untuk menanam
komoditas yang bernilai rendah serta menghambat upaya mereka untuk
berpindah pada produksi buah-buahan, hortikultura dan perternakan yang
bernilai tinggi. Di saat bersamaan pertumbuhan permintaan domestik
terhadap produk-produk ini semakin meningkat. Kebijakan pertanian harus
bergerak secara agresif menuju suatu penelitian dan agenda pengembangan
yang menaruh perhatian pada komoditas bernilai tinggi dan produk-produk
yang permintaannya tumbuh tinggi. Kebijakan tersebut juga dapat diusahakan
untuk membantu produsen kecil dalam memenuhi standar kualitas pada
pasar-pasar yang sedang terbentuk, serta untuk memperoleh akses pada rantai
pasokan pangan yang saat ini banyak dilayani oleh jaringan supermarket.

VI. MENURUNKAN BIAYA RASKIN (DOWNSCALE RASKIN)
Program RASKIN dimaksudkan sebagai salah satu program penting
pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan dengan memasok sekitar
20 kg beras per bulan kepada 9 juta keluarga miskin. Fakta yang ada
menunjukkan bahwa program tersebut teramat mahal, menghabiskan sekitar
Rp. 4,8 trilliun pada tahun 2004, dan relatif buruknya sasaran yang harus
dicapai, menyebabkan manfaat yang diperoleh masyarakat miskin sangat kecil.
Secara rata-rata, rumah tangga menerima sekitar 6 sampai 10 kg beras dan
bukan 20 kg, disebabkan karena beras tersebut didistribusikan secara merata
baik pada rumah tangga yang tidak miskin maupun rumah tangga miskin.
Akibatnya, rata-rata nilai subsidi yang diberikan kepada masyarakat miskin
melalui program ini hanya sekitar 2,1 % dari pengeluaran perkapita; jauh
lebih kecil pada masyarakat yang tidak miskin. Kemudian juga kebanyakan
subsidi tersebut tidak pernah sampai pada rumah tangga yang tepat, karena
kebanyakan dana itu menjadi biaya operasional BULOG. Pada tahun 2004
pemerintah mengeluarkan sekitar Rp 3.343 untuk setiap kilogram beras yang
diberikan melalui BULOG, meski pada kenyataannya penyediaan beras oleh
pihak swasta dapat diperoleh pada tingkat harga Rp. 2.800. Dari keseluruhan
dana anggaran BULOG untuk pogram RASKIN hanya sekitar 18% yang tepat
sasaran kepada masyarakat miskin.
Meski terdapat sejumlah permasalahan pada program Raskin- program ini
merupakan salah satu dari sedikit program dengan lingkup nasional dan
memiliki infrastruktur organisatoris yang berperan penting pada waktu
terjadinya gangguan pangan. Penghapusan program RASKIN, bukanlah suatu
cara yang tepat. Meski demikian juga penting untuk memikirkan reformasi
yang radikal berkaitan dengan program ini, antara lain:
1. Mensosialisasikan dan melaksanakan target dari program RASKIN kepada
masyarakat, dengan demikian masyarakat perdesaan dapat memahami
bahwa distribusi program ini hanya diperuntukan bagi penduduk yang
benar-benar miskin. Sekali lagi hal ini akan lebih mudah bila program
ini memang tepat sasaran.
2. Menciptakan dasar biaya penyelenggaraan program RASKIN dan merevisi
anggaran untuk program ini.
3. Memperluas penggunaan metode sasaran mandiri (self-targeting) oleh
masyarakat miskin itu sendiri, misalnya melalui paket RASKIN yang lebih
kecil jumlahnya dan frekwensi pemberian yang lebih sering.
Sasaran program RASKIN semestinya berjumlah lebih kecil dan biayanya jauh
lebih murah. Melalui perbaikan sasaran, program tersebut masih tetap
memiliki dampak yang lebih baik bagi masyarakat miskin.

VII. MEMIKIRKAN KEMBALI KEBIJAKAN STABILISASI HARGA BERAS
Langkah tradisional pemerintah dalam meningkatkan keterjangkauan pangan
umumnya ditempuh dengan cara menstabilisasikan harga beras. Hal ini
dilakukan melalui kebijakan harga pagu dan membeli beras di pasar dengan
maksud mempertahankan tingkat harga tersebut. Meski demikian
ketidakmampuan BULOG dalam mempertahankan harga pagu tersebut telah
menjadi hal yang umum dan keterlibatan pemerintah didalam pasar, telah
menghambat pengembangan mekanisme penyesuaian harga oleh pihak swasta (seperti melalui mekanisme penyimpanan). Upaya pemerintah
menstabilisasikan harga mungkin cukup tepat di masa yang lampau, akan
tetapi sekarang ini rantai pemasaran swasta telah cukup berkembang dan
sejumlah keterlibatam pemerintah pada dasarnya tidak diperlukan. INPRES
No 9 tahun 2001 mengubah kebijakan sebelumnya dari menerapkan harga
pagu menjadi penerapan harga pembelian oleh pemerintah. Pemerintahan
yang baru harus memusatkan perhatian pada implementasi dari isi INPRES
ini dengan mengkaji ulang apakah mungkin dan jika memang demikian,
bagaimanakah caranya untuk menstabilisasikan harga beras tanpa
menghambat aktivitas sektor swasta.

VIII. MENDUKUNG DAN MENERAPKAN PENINGKATAN GIZI PADA BAHAN MAKANAN POKOK
Peningkatan gizi makanan, seperti melalui aturan penambahan yodium
pada produksi garam atau dengan mengharuskan produsen untuk
menambah sejumlah nutrisi mikro ke dalam produk makanan mereka,
merupakan cara yang cukup efektif dalam meningkatkan standar gizi.
Pemerintah telah melakukan hal ini dengan mendukung penggunaan
garam beryodium dan peningkatan gizi tepung terigu. Akan tetapi kondisi
gizi yang buruk masih merupakan persoalan utama. Sebagai contoh
sekitar 63 % wanita hamil dan sekitar 65-68 % anak dibawah 2 tahun
menderita anemia disebakan karena kekurangan zat besi. Sementara itu
lebih dari seperempat rumah tangga belum mengkonsumsi garam
beryodium yang cukup.
Pemerintahan baru dapat meningkatkan kondisi gizi masyarakat dengan
mendorong dan menerapkan standar pemenuhan produksi pangan yang
bergizi. Sebagai contoh, di beberapa daerah produksi garam oleh
sejumlah produsen kecil lokal didukung oleh pemerintah setempat,
sekalipun hasil produksinya masih belum memenuhi standar yodium
nasional. Pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintah daerah,
produsen serta konsumen, untuk mendapatkan cara yang efektif dalam
menjamin pemenuhan gizi (meningkatkan kadar yodium) tanpa harus
merusak pendapatan produsen lokal. Hasil yang dicapai oleh Proyek
Penanggulangan Defisiensi Yodium (Intensified Iodine Deficiency Control
Project) menunjukkan bahwa cara ini dapat ditempuh dan telah berhasil
mengurangi lebih dari 50% angka penderita gondongan pada periode
1996 dan 2003 diantara anak-anak sekolah yang berada di provinsiprovinsi
dengan endemi gondongan yang parah maupun moderat.
Menerapkan regulasi yang transparan juga menjamin bahwa investasi
untuk memenuhi standar gizi pada produk makanan tidak akan dikurangi
karena adanya produsen yang tidak memenuhi standar gizi pada produk
makanan mereka. Kerjasama antar lembaga amat dibutuhkan melalui
intervensi yang mencakup industri pengolahan makanan (dibawah
Menperindag), impor (Kepabeanan/Bea Cukai), pengawasan penjualan
makanan (BPOM), pemasaran secara sosial (Menkes) dan pemerintahan
daerah (Mendagri). Kerjasama harus bertujuan untuk membangun
mekanisme perlindungan terhadap produk makanan tertentu, pilihan uji
gizi produk makanan serta mekanisme penyediaannya dan membentuk
kemitraan dengan produsen sektor swasta dan para pemasok produk
makanan yang dilindungi. Kerjasama ini juga dapat ditujukan untuk
menciptakan standarisasi produk dan aturan-aturan produksi, serta
memberikan pengawasan dan evaluasi terhadap penyediaan produk
makanan, disamping mengawasi dampaknya terhadap produk makanan
yang dilindungi bagi sejumlah penduduk.

IX. FOKUSKAN KEMBALI PERHATIAN PADA PROGRAM MAKANAN TAMBAHAN
Program makanan tambahan yang tepat sasaran amat berperan penting
dalam peningkatan gizi. Program makanan tambahan diperkenalkan
setelah krisis sebagai bagian dari jaringan pengamanan sosial ( JPS). Nilai
anggaran untuk program ini pada tahun 2004 meningkat hingga Rp 120
milliar untuk memasok dan mendistribusikan MP-ASI yang diproduksi
secara lokal, yaitu sejenis makanan tambahan utama dalam program
tersebut. Meski demikian bukti yang diperoleh menunjukkan bahwa
cakupan program tersebut amat rendah dan tidak tepat sasaran. Sebuah
studi menunjukkan bahwa sekitar 14% penduduk seperlima terkaya dan
17% penduduk seperlima termiskin yang sama-sama menerima program
makanan tambahan. Pemerintah harus merevisi dan memfokuskan sasaran
program untuk ditujukan pada masyarakat yang mengalami kemiskinan
yang kronis dan berada pada situasi yang amat buruk.

X. MENINGKATKAN INFORMASI MENGENAI GIZI
Survei menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan gizi yang lebih baik
menyiapkan lebih banyak gizi dan vitamin pada setiap makanan dalam
rumah tangga. Pengetahuan ibu akan gizi tidaklah terkait erat dengan
tingkat pendidikan formal mereka maupun tingkat pendapatan. Ini
menunjukkan bahwa kampanye mengenai informasi tentang gizi dapat
meningkatkan kualitas menu makanan. Apalagi ketersediaan bahan
makanan yang bergizi pada pasar lokal, telah cukup meningkat. Di masa
lalu jaringan posyandu merupakan salah satu jaringan yang paling efektif
untuk memberikan informasi tentang gizi kepada kaum ibu, namun
cakupan geografis dan kualitas penyampaian informasi gizi melalui
posyandu kini mengalami penurunan.
Sementara program revitalisasi posyandu perlu mendapat perhatian,
terpantau adanya sejumlah kendala pada anggaran dan sumber daya
manusia, terutama berkaitan dengan masalah desentralisasi. Selain itu,
penyelenggara jasa informasi alternatif juga mampu memberikan
pelayanan yang lebih baik. Sehingga tujuan untuk membangun kembali
jaringan secara nasional yang pernah ada, seperti posyandu, mungkin
bukan suatu hal yang tepat. Akan lebih baik jika penyampaian informasi
sosial mengenai gizi menempuh jalur altenatif yang tersedia, khususnya
melalui saluran televisi dan radio.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar